Pages

GAYA HIDUP MEWAH PEJABAT NEGARA

Pejabat di negeri ini tega hidup mewah di tengah-tengah kemiskinan yang mencekik rakyatnya. Mereka juga kebal dengan kritik dan tidak punya rasa malu lagi. Kalaupun ada yang rela hidup sederhana, maka perilaku orang itu dianggap anomali dalam kehidupan politik sekarang.

Bayangkan saja Ruhut Sitompul politisi Partai Demokrat ini menggunakan jam tangan seharga Rp 450 juta dan Anis Matta sendiri salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta. Itu baru jam tangan. Untuk harga mobil pejabat negara juga seharga Rp 7 miliar yang dimiliki oleh 3 orang anggota DPR. Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400 juta hingga 1,8 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan lainnya?

Lebih tragis lagi, Anis Matta mengatakan kepada media, “ dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk memantaskan dirinya sebagai seorang pejabat publik”. Artinya, di mata Anis Matta , “standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta”. Apakah harus demikian?

Kemudian Anis Matta mengatakan, gaya hidup mewah, termasuk menggunakan mobil mewah milik pribadi ketika bekerja adalah hak setiap anggota dewan, dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun juga. Yang penting fokus pada pekerjaannya. Benarkah mereka (anggota) DPR itu fokus pada pekerjaannya?

Bagaimana dengan gaji Presiden Indonesia? Berdasarkan peringkat gaji presiden tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16 dan berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev yang memimpin negeri yang jauh lebih maju dan makmur dibandingkan Indonesia.

Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ke 3 di dunia. Gaji Presiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.

Lalu Presiden SBY juga menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Untuk penyusunan pidatonya, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 miliar dan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar Rp52 miliar.

Ketika memulai masa pemerintahannya yang kedua, pemerintah Presiden SBY mengimpor 79 unit Toyota Crown Majesta terbaru yang diimpor khusus dari negeri asalnya, Jepang. Harganya pun jauh di atas Toyota Camry, yang sebelumnya menjadi mobil dinas pejabat. Kalau Camry harga termahalnya Rp 600 juta per unit, maka Crown Majesta ini harganya sekitar Rp 1,8 miliar per unit untuk sampai masuk ke Indonesia (ditambah pajak dan lain-lain). Dapat disejajarkan dengan Mercedes S Class dan BMW Seri 7. Mobil ini dikhususkan untuk para menteri, pembantu presiden, dan para pejabat tinggi negara lainnya. Anehnya, setelah dikritik, pihak Istana mengaku tidak tahu-menahu tentang impor mobil-mobil mewah tersebut. Padahal pembeliannya menggunakan anggaran dari APBN.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang jauh lebih maju dan makmur, kelihatan sekali sesuatu yang sangat kontras dan ironis. Negara-negara yang jauh lebih maju dan makmur itu justru para pejabat negaranya bekerja dengan mobil dinas yang harganya jauh lebih murah daripada mobil dinas para pejabat negara di Indonesia.

Buktinya, Finlandia, negara terkaya di Eropa, sudah diketahui bahwa para pejabat negara, termasuk kepala pemerintahannya menggunakan mobil dinas murah, yang tidak diganti ketika pemerintahnya berganti. Lalu di Negara Cina, selama ini, mobil dinas para pejabat negaranya ditentukan tidak boleh memiliki mesin lebih dari 2.000 cc dengan harga harus di bawah 250.000 Yuan, atau sekitar Rp. 354,4 juta. Ketika negara ini menjadi semakin maju dan makmur, sehingga berhasil menduduki negara dengan ekonominya terkuat nomor 2 di dunia setelah Amerika Serikat dan menggeser Jepang, pemerintahnya malah menurunkan lagi standar mobil dinas para pejabat negaranya. Selain itu ada ketentuan mereka untuk wajib menggunakan mobil dinas itu ketika bekerja.

Kini standar mobil dinas pejabat negara di Cina ditentukan tidak boleh memiliki mesin berkapasitas lebih dari 1.800 cc dengan harga harus di bawah 180.000 Yuan, atau sekitar Rp. 248,7 juta. Atau sekelas Toyota Innova tipe termurah. Tidak hanya di Negara Cina, di Negara Malaysia dan India, misalnya, juga ada peraturan dari pemerintahnya masing-masing yang menentukan mobil dinas pejabat negara adalah mobil murah. Dengan harga kira-kira sama dengan yang ditetapkan pemerintah Cina, atau lebih murah.

PROGRAM KOMKAB KUTA ALAM

KOMITE PIMPINAN DAERAH - KOMITE MASYARAKAT KUTA ALAM BERSATU (KPD-KOMKAB)













NAMA ORGANISASI


Komite Pimpinan Daerah – Komite Masyarakat Kuta Alam Bersatu

TEMPAT PEMBENTUKAN

KOMKAB di bentuk pada tanggal 20 Juni 2010 di Kotamadya Banda Aceh

TUJUAN

KOMKAB adalah mewujudkan sistem masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratis, bersih dan mandiri serta setara sepenuh-penuhnya dibidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan
budaya dalam prinsip demokrasi-kerakyatan.

BENTUK

KOMKAB adalah organisasi yang bersifat terbuka untuk masyarakat umum.

AZAS PERJUANGAN

Komkab adalah Organisasi yang berazaskan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara.

PROGRAM PERJUANGAN

1. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas.
2. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan gratis sampai ke jenjang Universitas.
3. Menuntut kepada pemerintah untuk menyediakan perumahan yang murah, layak dan sehat bagi rakyat miskin.
4. Menolak keras segala bentuk kenaikan harga barang dan jasa pokok bagi rakyat.
5. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
6. Memperjuangkan Jaminan hukum bagi hak hidup, hak bekerja, dan hak bertempat tinggal bagi seluruh rakyat.
7. Memperjuangkan pemerintahan yang bebas dari praktek-praktek korupsi dan mendesak pemerintah untuk mengadili serta menyita harta koruptor, dari yang berskala kecil hingga yang berskala besar.
8. Menolak segala bentuk penjualan aset-aset kekayaan bangsa kepada pihak asing (BUMN, Gas, Minyak, Air, Mineral, Emas, Batu Bara, dsb).
9. Menuntut kepada Negara untuk menghapuskan seluruh UU/PP/Perda yang diskriminatif.
10. Memperjuangkan hak rakyat miskin agar memiliki kemerdekaan dalam menyampaikan saran dan pendapat terhadap kebijakan penyelenggara Negara.

Masyarakat Harus Mengkontrol PTS Untuk Memwujudkan Transparasi Dan Akuntabilitas Pengelola Pendidikan Di Aceh

Saat ini pengelolaan pendidikan dapat dikatakan masih tertutup bagi masyarakat, terutama dari segi pengelolaan administrasi keuangan. Pihak pengelola badan pendidikan masih menganggap tabu untuk membuka akses masyarakat terhadap aliran pendanaan pendidikan. Masyarakat sering mengeluh tentang biaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak satuan pendidikan yang tidak sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat Aceh. Padahal dalam era reformasi ini telah diatur kewajiban bagi para penyelenggara negara termasuk lembaga pendidikan untuk mengelola dana dan menyelenggarakan pendidikan secara transparan dan bertanggung jawab.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dikatakan bahwa asas umum penyelenggaraan negara disebutkan meliputi ;

(1) Asas kepastian hukum.

(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara.

(3) Asas Kepentingan Umum.

(4) Asas Keterbukaan.

(5) Asas Proporsionalitas.

(6) Asas Profesionalitas dan

(7) Asas Akuntabilitas.

Asas Keterbukaan atau Transparansi adalah asas yang membuka diri terhadap hak hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian arti kedua asas tersebut didalam penjelasan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Masalah pendanaan pendidikan sebagaimana diatur dalam bab XIII pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Pengelolaan dana pendidikan diatur dalam pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam era reformasi ini pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan seharusnya dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan berhak untuk mengetahui seluk beluk dunia pendidikan, terutama masalah pengelolaan dana pendidikan pada satuan pendidikan.

Hak-hak masyarakat untuk mengetahui dan mempergunakan informasi tentang pengelolaan pendidikan ini diperkuat lagi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik. Sedangkan pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN,APBD,organisasi non pemerintah, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur adanya sangsi pidana bagi penyelengara pendidikan yang tidak mau memberikan informasi yang diminta oleh pengguna informasi publik sebagaimana diatur dalam pasal 52, sedangkan bagi pengguna informasi publik juga ada sangsi pidana sebagaimana tercantum dalam bab XI dan pasal-pasalnya. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan telah diatur pula prinsip pengelolaan pendidikan pada bab VI yang pada dasarnya meliputi (a) prinsip keadilan; (b) prinsip efisiensi; (c) prinsip transparansi dan (d) prinsip akuntabilitas publik.

Masalah Transparansi dan Akuntabilitas pengelolaan badan publik dalam bidang pendidikan ini telah diatur dalam 3 (tiga) Undang Undang dan 1 (satu) Peraturan Pemerintah dengan disertai ketentuan pidana bagi yang melanggarnya, oleh karenanya sosialisasi mengenai hal ini kepada masyarakat di Banda Aceh. Lalu ada beberapa badan publik yang masih belum melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas.


Pengelola dunia pendidikan belum bersedia membuka diri untuk melakukan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara transparan dan akuntabilitas sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Transparansi pendidikan merupakan wujud pertanggung jawaban pengelolaan pendidikan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan, oleh karenanya itu wajib badan publik untuk bersikap transparan kepada seluruh masyarakat

Penulis : KOMKAB

HAPUS LIBERALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa sehingga terbentuk watak bangsa yang kokoh.
Sesuai dengan apa yang sudah diamanatkan UUD 1945, mencerdaskan anak bangsa adalah tujuan dari negara, maka pemerintah bertanggung jawab dan menjamin kesempatan kepada seluruh anak bangsa. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat seharusnya terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada peserta didik terutama menyangkut pembiayaan pendidikan, khususnya berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Sampai hari ini kita masih mendengar anak bangsa yang putus sekolah atau tidak dapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bahkan setiap hari jumlahnya selalu bertambah. Tentu saja hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan ekonomi rakyat Indonesia yang telah diperas dan dimiskinkan oleh sistem ekonomi yang kapitalistik. Disamping itu juga sistem pendidikan nasional yang dibangun juga tidak berpihak terhadap rakyat kecil.
Berbagai kisah tentang mahalnya biaya pendidikan dan peran sekolah yang turut memainkan biaya sekolah menjadikan sekolah menjadi pasar yang dihitung dengan untung dan rugi. Biaya sekolah (uang) bahkan sudah mulai ikut menentukan arah, kemana pendidikan masyarakat hendak melangkah. Tanpa uang, tidak mungkin seorang anak miskin bisa menikmati pendidikan sekolah. Dengan kata lain, uang sudah amat berperan dalam sendi kehidupan manusia yang paling dasar. Uang menjadi value (nilai) yang kian dominan dalam worldview (pandangan dunia) kita saat ini, bukan hanya secara ekonomis tetapi juga sosio-kultural. Terlepas dari baik buruknya pengaruh masuknya uang dan pasar ke lembaga pendidikan sekolah, yang jelas pengaruh kapitalisme dengan salah satu tandanya uang dan pasar, sudah ikut menguasai sekolah. Maka tidaklah berlebihan kemudian muncul istilah, “memasarkan sekolah dan menye-kolahkan pasar”. Dampak lebih lanjut, banyak orang tua sekarang membuat kalkulasi, berapa biaya sekolah anaknya dan berapa uang yang akan ia dapat sesudah si anak selesai sekolah. Pandangan ini juga secara tidak langsung menempatkan anak bukan sebagai subjek didik, tetapi aset. Anakpun dilihat sebagai modal (human capital).
Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan menjamin kesempatan memperoleh pendidikan untuk semua anak bangsa ternyata malah mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang jelas mendiskriminasi rakyat kecil. Terbukti dengan produk hukum pendidikan seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003, BHP ( Badan Hukum Pendidikan) yang gagal, dan sekarang UU PT ( Perguruan Tinggi ) yang lagi digodok DPR dengan tujuan untuk melegitimasi praktek BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum) yang tidak mempunyai dasar hukum.
Dengan demikian pemerintah telah melakukan perubahan paling mendasar terhadap tujuan pendidikan. Pendidikan, selanjutnya, bukan lagi merupakan suatu kegiatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia, tetapi telah berubah menjadi kegiatan industri atau komoditas ekonomi.
Oleh karena itu kami anak bangsa yang tergabung dalam GPPI (Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia) mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama:
1. Hapus praktek liberasisasi dan komersialisasi pendidikan
2. Tegakkan ideologi Pancasila dan UUD 1945 (asli) sebagai dasar pendidikan nasional.
3. Lawan rezim komprador yang telah merusak Sistem Pendidikan Nasional.
4. Tolak RUU PT.
5. Bebaskan biaya pendidikan sampai perguruan tinggi.


Sember : http://gerakanpemudapatriotikindonesia.blogspot.com/2011/05/hapus-liberalisasi-dan-komersialisasi.html

Mahasiswa STMIK U'Budiyah Tuntut Akreditasi

Banda Aceh — Ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika dan Komputer (STMIK) U’Budiyah Banda Aceh berunjukrasa dengan mendatangi pihak kantor Badan Pelaksana Harian (BPH) Yayasan U’Budiyah di kawasan Tibang, Banda Aceh, Rabu (2/2).

Mereka menuntut agar pihak yayasan memperjelas status akreditasi kampus dan jurusan mereka masing-masing. Tidak hanya itu, para mahasiswa juga menuntut agar pihak yayasan bisa saling terbuka dengan mahasiswa.

Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STMIK U’Budiyah, Fauzul Husni, pihak Yayasan U’Budiyah telah melakukan pembohongan publik.

“Pada brosur tahun 2008 lalu, pihak yayasan pernah mencantumkan kata-kata gratis dalam untuk biaya les komputer, les Bahasa Inggris, dan les internet. Tapi nyatanya kami harus membayar hari ini dengan biaya hingga Rp 260 ribu. Makanya hari ini, kita ingin pertanyakan itu semua, kapan makna gratis yang disebutkan dalam brosur tersebut berubah,” urai Fauzul mempertanyakan.

Selain kedua hal tersebut, kata Fauzul, mahasiswa juga menilai fasilitas laboratorium sebagai salah satu mata kuliah kenapa harus dibayar. “Padahal ini seharusnya menjadi tanggung jawab yayasan yang harus mereka sediakan untuk kami,” jelas Fauzul.

Sementara itu, Koordinator aksi, Saifuddin juga menyebutkan beberapa poin lainnya yang menjadi aspirasi mahasiswa STMIK yaitu, masalah dosen pengajar yang datangnya tidak tepat waktu, peraturan akademik yang tidak tegas, rincian dana Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang belum siap hingga saat ini dan lainnya.

Kecuali itu, dalam aksinya ini para mahasiswa meminta agar pihak yayasan menemui mereka secara langsung. Jika ini tidak dilakukan, mereka mengancam akan menyegel kampus.

Secara terpisah Ketua Yayasan U’Budiyah Marniati, M.Kes yang dijumpai wartawan menyampaikan, masalah akreditasi yang dipertanyakan tersebut sebenarnya dalam proses.

“Kita sudah usulkan ke Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi pada Mei 2010. Namun menurut pihak BAN, saat ini anggaran untuk tahun 2010 tidak ada lagi dan mereka belum bisa turun langsung untuk melakukan akreditasi tersebut,” jelas Marniati.

Direktur Rumah Sakit U'Budiyah Banda Aceh ini menambahkan, pihak BAN baru akan melakukan akreditasi pada 2011 ini. “Paling lama pada April nanti semuanya sudah selesai prosesnya,” ujar Marniati.

Kemudian, menyangkut fasilitas yang harus dibayar oleh mahasiswa, dia menilai, hal itu memang wajar bagi sebuah perguruan tinggi swasta yang memang boleh menetapkan biaya sesuai fasilitas yang ada.

Sumber : http://www.theglobejournal.com/kategori/pendidikan/mahasiswa-stmik-ubudiyah-tuntut-akreditasi.php

FORMULIR PENDAFTARAN CALON ANGGOTA KOMKAB

Silakan daftarkan disini untuk menjadi Calon Anggota Komite Masyarakat Kuta Alam Bersatu
( KOMKAB ).


Miskin dan Papa Ditengah Kaum Berjuis. Potret Kaum Marginal Kita


Angka kemiskinan di Indonesia memang simpang siur. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 14% dari seluruh total penduduk Indonesia atau sekitar 35 juta orang jumlahnya . Dari jumlah tersebut ternyata 60% berada di pedesaan, artinya sekitar 19,9 juta orang miskin ternyata berada dan tinggal di pelosok desa se tanah air.

Apa satandard yang digunakan BPS tentu sudah baku dan universal karena sudah lazim dan berulang ulang digunakan yakni standard yang ditetapkan oleh PBB. Apakah data ini valid? Belum tentu memang, karena selain ada tujuan pemerintah juga selain itu banyak pihak yang memiki angka -angka yang berbeda satu sama lainnya. Memang bedanya 1 hingga 2%, tapi karena perkaliannya terhadap 237 juta, tentu selisih 1% - 2% akan sangat besar angkanya.

Salah satu data yang menarik adalah data yang dimiliki oleh para Tokoh Lintas Agama yang menerbitkan memo bersama yang berjudul “Pernyataan Publik Tokoh Lintas Agama, Pencanangan tahun Perlawanan terhadap Kebohongan” salah satu data yang meraka anggap tidak benar adalah jumlah orang Miskin di Indonesia bukan seperti yang dilansir oleh Pemerintah, melainkan jumlahnya lebih banyak 2 kali lipat, yakni sebanyak 70 jutaan orang. Hal ini mengacu kepada jumlah orang miskin yang terdafar dalam pengajuan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jakesmas) dan Beras untuk orang miskin (Raskin).

Dalam konstelasi fenomena kaum papa yang akan kita bahas, mari kita ambil saja data dari BPS,. Mari kita susuri data dan fakta rakyat miskin kita yang hidup terlunta-lunta dan hampir putus harapan karena melihat kenyataan demi kenyataan tentang kehebatan dan kesuksesan sebagian saudaranya yang lain yakni sebagian besar rakyat Indonesia yang menikmati hidup sebagai warga negara dengan kelebihan di dalam ekonomi, kemewahan dalam harta dan berkelimpahan dalam sisi keuangan.

Orang miskin merasa dirinya berada ditengah-tengah kemewahan ini. Pertanyaan rutin dalam hatinya, “Siapakah yang peduli?” Tidak ada yang peduli. Sebagian pejabat dan pemerintah kita memang ada yang peduli, tapi ada yang ada hanya sebagai valountir pencari keuntungan menggunakan data-data orang miskin. Mereka hanya mengejar proyek melalui program pengentasan kemiskinan yang ternyata kurang memberi manfaat secara nyata bagi kaum papa yang terpinggirkan tersebut.

Pernah kita dengar bahwa di sebuah desa di Jateng masyarakatnya harus makan tumbukan dari Singkong yang telah dikeringkan (tiwul) atau Gaplek?

Pernah kita dengarkan orang-orang miskin itu makannya hanya 1 kali sehari.

Pernah juga kita dengarkan betapa pedih hati orang tua melihat anaknya tidak gembira dan tidak ceria seperti anak orang lain yang lebih beruntung hidupnya karena berlimpah harta dan kekayaan orang tuanya.

Pernah kita mendengar untuk membiayai berobat diri sendiri pun kadang tak kuasa karena jangankan berobat, untk makan Senin -Kamis saja susah.

Tidak jarang sekelompok orang yang telah suskes secara ekonomi memberi stigma kepada kaum papa ini sebagai kaum marginal, karena mereka diaggap hanya menjadi beban bagi negara dan pemerintah. Tapi sekali lagi, tahu kah Anda bahwa menjadi miskin dan papa itu BUKAN tujuan yang mereka cita-citakan?

Jika kita melihat anak-anak orang melarat yang kurang terurus karena orang tuanya miskin apakah kita merasa jijik dan melihatnya najis, atau timbul keegoan kita bahwa kita lebih berharga dari mereka? Padahal menjadi miskin dan papa bukanlah keinginan mereka. Orang tua mereka yang miskin tidak mampu memberikan apa-apa selain belaian kasih sayang dan nasihat yang mengandung nilai-nilai kesabaran. Walau jarang yang bisa sabar tapi orang tua biasanya selalu bersikap seperti itu.

Banyak juga kita temukan orang miskin yang memilih terhormat dan bermartabad ketimbang menjadi budak hawa nafsu yang telah meracuni otak sebagian kaum berjuis hanya memikirkan masalah-masalah materialistis dan hedonisme yang tidak habis-habisnya.

Anak-anak orang miskin kadang tidak memiliki cita-cita lagi. Bagi mereka hidup ini hanya bagaimana bisa bertahan untuk besok. Bagaimana besok, apakah masih bisa makan? Hari ini makan nasi basi, kemarin makan nasi sisa orang di tong sampah, kemarinnya lagi ada roti sisa makanan orang kaya di tong sampah. Roti yang layak dimakan itu yang penting belum busuk dan kena serangan lalat. Kadang di bawa pulang untuk dimakan bersama.

Jangan anggap fenomena ini penuh dengan bumbu-bumbu tambahan kepedihan atau didramatisir, yakinlah banyak contoh dan kejadian yang dapat menyita rasa empati dan toleransi kita. Penulis sering menemukan rekan-rekan tetangga yang termenung-menung seminggu menjelang gajian, karena gajinya telah habis buat biaya sehari-hari. Jangan harap dia bercerita pengen nonton di Megaplex, Cineplex atau resotan mewah yang habis jutaan untuk 5-6 orang sekali makan. Bagi mereka mendapat Rp.10 ribu saja sudah gembira luar biasa karena cukup buat beli beras atau cukup beli Mie Instan untuk sarapan keluarga besok pagi.

Itulah fenomena rakyat miskin kita dari sudut sempit yang jarang terlihat oleh mata kita apalagi mata pejabat negara. Harusnya orang miskin yang hanya berjumlah 32 juta jiwa itu diberi skala prioritas saja. Daripada Pemerintah menghabiskan dana Bantuan Tunai Langsung dan berbagai program yang kurang efektif akan lebih baik dan efektif berikan tugas kepada Bupati dan Gubernur untuk mengangkat derajat dan martabad orang miskin di wilayah masing-masing dengan memberikan mereka Rumah yang layak, jaminan kesehatan yang jujur (bukan cuma janji atau rekayasa) atau sedapat-dapatnya memberikan peluang usaha kepada mereka.

Ada yang mengatakan, mana mungkin. Jumlah orang miskin sebegitu banyak diberikan bantuan seperti itu ? Jangan lupa, berapa lah 32 juta jiwa itu dibantu sesuai dengan contoh bantuan di atas. Mungkin saja bisa bertahap hingga 3 tahun lamanya. Jadi setiap tahun ada 11 juta jiwa yang dibantu langsung secara total. Jika sudah begini, kira-kira masih adakah orang miskin di Indonesia? Apakah dapat menjamin tingkat kemiskinan langsung ke titik Zero..? Belum tentu.

Beberapa orang miskin yang dibantu memang ber masalah, karena secara psikis dan mental mereka telah depresi atau tertekan berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ditambah lagi dengan kebiasaan dan budaya dalam keluarganya tidak disiplin dan tidak memiliki komitmen dan integritas, maka beberapa bentuk bantuan pemerintah akan salah diartikan atau akan salah mereka gunakan.

Disinilah letaknya peran pengawas pemberi bantuan agar keluarga yang mendapat bantuan tersebut dapat di monitoring perkembangannya per minggu atau per 2 minggu. Jika ada tanda atau gelagat yang tidak beres tentu pengawas dapat langsung memberikan nasihat, wejangan dan motivasi agar keluarga tadi kembali ke perjanjian dan keinginan yang pernah diidam-idamkan yakni keluar atau berhenti menjadi orang miskin.

Jika pola dan cara ini dilaksanakan, apakah masih perlu pemerintah berlomba-lomba memberi bantuan dalam bentuk program-program unik karena kesannya seperti mempersiapkan momentum untuk menjaring suara untuk kepentingan politik masing-masing? Pasti perlu, tapi masih ada cara lain yang lebih efektif menjaring suara rakyat, yakni : Siapa yang mengangkat dan mengeluarkan mereka sebagai orang miskin, dialah yang dianggap sebagai pahlawan. ..

Mari berlomba-lomba membantu kaum papa dan orang-orang terlantar akibat kemiskinan yang mereka hadapi. Bantuan kita dengan cara apa pun, sesuai dengan cara dan kemampuan masing-masing.

Sumber > http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/14/miskin-dan-papa-ditengah-kaum-berjuis-potret-kaum-marginal-kita/